ITIHASA
CERITA SUTASOMA
Dosen
Pengampu: I Gede Arsana, S.Pd.H
OLEH
LUH AYU LESTARI
10.1.1.1.1.3855
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2012
CERITA
SUTASOMA
Tersebutlah
di kerajaan Astina seorang raja yang bernama Úrì Mahàketu,
katurunan Kuruwangsa. Dewi Pradnyadari nama istri beliau, sangat
terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya. Semua rakyat sangat
hormat dengan sang raja dan permaisurinya. Istana Astina sangat indah
tidak ada yang menyamai di dunia ini, istana Beliau seperti istana
Ida Sang Semara nyekala
dengan istananya yang dihiasi dengan batu permata yang sangat indah.
Pintu
keluar istana dibuat demikian rupa sehingga nampak indah, lebih-lebih
pintu gerbangnya dibuat dari emas permata yang cahayanya
berkilau-kilauan membuat seisi istana bersama punakawan istana sangat
senang karenanya. Diceritakan ada Daitya yaitu rajanya ràkûasa di
Ratna Kàóða yang berkeinginan untuk menyerang kerajaan Astina,
raja ràkûasa itu bernama Sang Puruûàdha. Semua rakyatnya semua
ràkûasa disuruh menyusup ke hutan sampai tiba di tepi kerajaan
Astina, merusak semua pertapaan, gubuk-gubuk rakyat dan pasraman
yang ada di hutan.
Para
rakyat banyak yang takut dan mengungsi, dan sudah banyak orang yang
telah ditahan dan dibunuh. Banyak rakyat tua dan muda bersembunyi
takut disiksa oleh prajurit Prabu Ratna Kàóða. Hal ini didengar
oleh Ida Sang Prabhu Mahàketu, lalu beliau memanggil para menteri
dan para bràhmaóa
untuk melakukan persiapan menghadapi serangan para ràkûasa itu. Dan
para bràhmaóa
diminta untuk melakukan pemujaan secara terus menerus untuk melakukan
pemujaan kepada Tuhan untuk terhindar dari mara bahaya itu.
Diceritakan
para prajurit dan para menteri tak bisa menghadapi pasukan ràkûasa
itu, disitulah para bràhmaóa
menyampaikan bahwa ada pawisik atau wahyu Tuhan bahwa sang Puruûàdha
hanya bisa dikalahkan oleh putra sang prabhu.
Karena pawisik itulah Beliau bertapa bersama istri di depan arca Ida
Hyang Buddha. Ida Sang Buddha pada tengah malam memberi sabda bahwa
beliau akan dianugrahkan anak dari rahim istrinya yang merupakan
penjelmaan sang Buddha Utama.
Rakyat
berdoa agar wahyu itu betul-betul menjadi kenyataan. Tak begitu lama
wahyu itu menjadi sebuah kenyataan, lahirlah putra raja yang kemudian
diberi nama Sutasoma. Wajah sang Sutasoma sangat tampan dan lembut
sehingga membuat para abdi dan pengasuhnya tak bosan-bosan menyayangi
Beliau sebagai putra Raja. Karena Beliau awatàra Buddha, itu
sebabnya Beliau sangat pintar memahami seisi úàstra,
dan segala nasehat-nasehat yang baik dari semua orang tanpa melihat
oleh siapa nasehat itu.
Disampaikan
sang Prabhu mengundang para menteri puruhita serta Sutasoma sebagai
putra raja. Pada rapat itu beliau menyampaikan keinginannya untuk
mengangkat Sutasoma sebagai raja. Ini dikarenakan sang Sutasoma
dipandang sudah sangat bijak dan pintar untuk mengurusi kerajaan.
Sang raja juga menasehati sang Sutasoma tentang tata cara memerintah
sebagai raja.
Sang
Sutasoma dengan sangat lembut dan pelan-pelan menyampaikan kepada
sang raja bahwa beliau belum siap menggantikannya sebagai raja, juga
sang Sutasoma belum merasa banyak tahu isi sastra dan juga dirasakan
sebagai raja sangat sulit, penuh kewibawaan membuat perasaan tidak
bahagia. Pekerjaan sebagai raja yang menghukum rakyat akan membuat
neraka atau papa. Dan karena permintaan raja itulah sang Sutasoma
secara sembunyi-sembunyi pada tengah malam meninggalkan istana menuju
hutan.
Dalam
perjalanan sang Sutasoma menuju hutan banyak menjumpai
pemandangan-pemandangan yang sangat indah serta menyejukkan seperti
tumbuh-tumbuhan dan beraneka ragam jenis binatang yang membuat
hatinya sangat bahagia. Akhirnya sampailah sang Sutasoma di sebuah
kuburan yang sangat menyeramkan kerena di kuburan itu tumbuh
pohon-pohon besar yang tidak terawat dan banyak terlihat mayat-mayat
bergelimpangan yang sedang dikerubuti binatang-binatang liar dan
burung-burung gagak. Beliau sang Sutasoma menuju ke sebuah
balai-balai untuk melepas lelah dan kemudian melakukan
persembahyangan untuk memuja dewi Durgà melalui tata cara
persembahyangan Buddha.
Di
puncak meditasi beliau kurang lebih tengah malam tanah terasa
bergetar tiada henti sebagai ciri Ida Dewi Durgà akan menampakkan
diri. Secara tiba-tiba Dewi Durgà menampakkan diri dengan wajah yang
sangat menyeramkan, mata sang Dewi merah menyala, giginya banyak dan
panjang, Beliau melangkah membuat tanah bergetaran. Tanpa
disangka-sangka, sang Dewi menyembah kepada sang Sutasoma, sambil
memuji kautamaan Yoga
sang Sutasoma yang betul-betul merupakan perwujudan sang Buddha
Utama.
Sang
Sutasoma masih muda sudah mampu mengendalikan indria semua sifat
saðripu
sudah dikendalikannya. Sebagai penegak dharma
beliau dianggap sudah melaksanakan Catur
Pàramita
dengan baik (Maitrì,
Karuóa, Mudita
dan Upekûà)
itu sebabnya sang Dewi Durgà menghaturkan hormat kepada sang
Sutasoma. Dan sang Dewi menghadiahkan mantra Mahà Hådaya Uttamà
yang mampu melunakkan semua keinginan yang mendatangkan bencana dan
Sang Sutasoma tidak akan terhalang saat masuk ke tempat-tempat sangat
berbahaya.
Keesokan
harinya Beliau melanjutkan perjalanan menuju gunung Mahà Meru. Dalam
perjalanan itu sang Sutasoma bertemu dengan Åûi Keúawa, Bhagawàn
Sumitrà yang selanjutnya beliau para maharûi mengantarkan sang
Sutasoma menuju puncak Mahà Meru. Sang Sutasoma juga menjumpai gajah
Waktra yang ingin membunuhnya walaupun gajah Waktra sangat sakti yang
bisa berwujud besar, bertangan empat, tapi tidak mampu mengalahkan
sang Sutasoma. Dengan senjata Bajra yang dikeluarkan dirinya yang
ditujukan kepada gajah Waktra sehingga membuat gajah waktra menjadi
insaf dan setelah diberi petuah oleh sang Sutasoma gajah Waktra
menuju hutan. Dan kemudian sang Sutasoma menemukan seekor macan
betina yang mau memakan anaknya karena sang macan betina tidak kuasa
menahan lapar.
Karena
perasaan kasih sang Sutasoma melihat anak macan meronta-ronta memohon
pertolongan maka sang Sutasoma merelakan diri menjadi pengganti
makanan macan betina itu. Setelah sang macan memakan sang Sutasoma
darahnya sang Sutasoma mengalir ke tenggorokan sang macan tiba-tiba
sang macan menangis dan memohon ampun serta berharap mayat sang
Sutasoma bisa hidup lagi. Karena para dewa masih mengharapkan sang
Sutasoma hidup untuk bisa melaksanakan swadharma-nya
di dunia ini maka atas kuasa Tuhan hiduplah kembali sang Sutasoma
seperti sedia kala.
Sang
Sutasoma kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Mahà
Meru untuk melakukan tapa
bratha
bersama-sama Sang Åûi.
Tak lama beliau sudah berubah wujud sebagai Sang Hyang Buddha, yang
bercahaya duduk di atas teratai mengikuti gerak sang Buddha. Bhaþþara
Indra dan para dewa lainnya serta widyàdhara-widyàdharì
menyembah dan memohon agar beliau mau kembali membantu menghilangkan
angkara murka yang ditimbulkan oleh sang Puruûàdha.
Sang
Puruûàdha berbuat angkara murka akibat dari sang Puruûàdha pernah
sakit kakinya bengkak dan beliau berjanji bila kakinya bisa
disembuhkan, sang Puruûàdha berjanji mempersembahkan 100 raja
kepada bhaþþara
kala.
Setelah para dewa menghaturkan mantra pajaya-jaya
dan doa permohonan lalu Beliau kembali berwujud semula sebagai
Sutasoma dan Beliau kembali ingat akan tugasnya sebagai manusia untuk
menyelamatkan umat manusia dari ke angkaramurkaan sang Puruûàdha.
Kembalilah
rombongan beliau menuju ke Astina pura, diperjalanan beliau berjumpa
dengan sang Daúabawa yang sangat sakti yang sedang mengejar ràkûasa
sang Sudahana yang sangat durhaka. Sang Sudahana mohon untuk bisa
diselamatkan. Walaupun dia sangat jahat, karena dia minta tolong
dengan penuh kesedihan Sang Sutasoma dengan kewelasannya membantu dan
membuat sang Daúabawa marah.
Tapi
atas penyampaian dari Åûi
Keúawa bahwa sang Sutasoma membantu karena melihat sang Sudahana
dengan penuh kesedihan meminta pertolongannya sang Sutasoma sebagai
awatàra
Buddha tentu tidak akan membiarkan orang dalam kesedihan dan ini bisa
dimengerti oleh sang Daúabawa dan ternyata Sang Daúabawa itu
keluarga atau sepupu dari sang Sutasoma. Kemudian sang Daúabawa dan
Sutasoma saling bermaaf-maafan serta sang Daúabawa meminta kesediaan
sang Sutasoma untuk mampir ke negerinya.
Sesampai
di kerajaan sang Daúabawa diminta untuk mengawini sang dewi
Candrawati. Begitu upacara perkawinan telah dilangsungkan sang
Sutasoma diantar oleh sang Daúabawa menuju ke kerajaan Astina Pura.
Di istana Astina rombongan disambut oleh rakyat, para menteri dan
para puruhita
beserta raja dan permaisurinya. Sang raja sangat gembira melihat sang
Sutasoma kembali dengan membawa istri. Tak selang beberapa lama,
kerajaan diserahkan kepada sang Sutasoma. Di bawah pemerintahan sang
Sutasoma kerajaan betul-betul damai dan sejahtera. Sang Sutasoma
sangat disayangi rakyatnya dan demikian sebaliknya.
Pada
sewaktu-waktu banyak raja dan rakyat mengungsi ke Astina karena
serangan sang Puruûàdha yang semakin menjadi-jadi. Banyak raja yang
telah ditahan serta ada yang dibunuh. Tahanan-tahanan itu tidak ada
yang dikasih makan dan minum. Sampai akhirnya sang Puruûàdha
menggempur kerajaan Astina. Raja-raja dan para menteri melakukan
belapati terhadap negeri Astina. Sang Sutasoma awalnya tidak
memberikan para raja dan rakyat untuk melakukan perlawanan kepada
sang Puruûàdha.
Sang
Sutasoma siap mati untuk menyelamatkan raja-raja dan kerajaan Astina.
Banyak prajurit dan raja-raja yang mati dalam peperangan ini.
Sampai-sampai sang Daúabawa yang sangat sakti pun dapat
dikalahkannya. Pertempuran sang Sutasoma dengan sang Puruûàdha tak
dapat dielakkan. Sang Puruûàdha berubah wujud menjadi Rudra Mùrti,
beliau bertangan banyak dan berkepala banyak. Tangan-tangannya
berusaha menangkap sang Sutasoma tetapi tak satupun bisa menyentuh
tubuh sang Sutasoma.
Padahal
itu membuat sang Puruûàdha sangat marah, dan melemparkan
senjata-senjata saktinya kepada sang Sutasoma, Tak satu pula senjata
itu menyakiti tubuh sang Sutasoma, justru senjata itu berubah menjadi
bunga-bunga yang sangat menyenangkan. Lagi sang Puruûàdha berubah
wujud menjadi Kàla Agni Rudra, semua tubuhnya menyala. Para dewa
memperingatkan dewa Rudra untuk tidak memusuhi Sutasoma karena sang
Sutasoma penumadian
/
awatàra
Buddha yang sama dengan Dewa Úiwa dan beliau tunggal adanya.
Dewa
Rudra tidak menghiraukan peringatan para dewa, justru lebih sengit
mengejar Sutasoma, sampai akhirnya sang Sutasoma terpaksa melakukan
Agni Mùdra dan mengeluarkan senjata bajra
yang bersinar terang yang membuat Bhaþþara Rudra menyadari
kebenaran sang Sutasoma sebagai Awatàra
Buddha. Tiba-tiba Dewa Rudra meninggalkan badan sang Puruûàdha,
yang membuat sang Puruûàdha lesu kembali kepada badannya yang
semula. Menyadari akan kemampuannya yang sudah terbatas, sang
Puruûàdha segera memohon ampun kepada sang Sutasoma.
Pada
saat itu sang Sutasoma menyatakan diri siap menjadi caru
untuk Bhaþþara
Kàla
karena beliau merelakan kematiannya demi membantu orang lain, atas
sikap itu sang Puruûàdha menangis tiada henti serta memohon
keinginannya itu tidak dilakukan. Karena jumlah caru
100 raja itu sudah dipenuhi sang Sutasoma tetap pada pendiriannya.
Sampailah beliau sang Sutasoma berhadapan dengan Bhaþþara
Kàla,
di hadapan Bhaþþara
Kàla,
sang Sutasoma menyatakan kesiapannya sebagai caru
asal semua tawanan bisa dilepaskan. Bhaþþara
Kàla
menyanggupi dan semua raja yang menjadi tawanannya dilepaskan.
Para
tawanan itu menghormat kepada sang Sutasoma, karena kasih sang
Sutasoma semua raja yang tadinya lemas karena disiksa menjadi sehat.
Di ceritakan sang Sutasoma betul-betul tulus menjadi
tetadahan/makanan
Bhaþþara
kàla.
Bhaþþara
Kàla
tiba-tiba memasukkan tubuh sang Sutasoma ke mulutnya. Baru kaki sang
Sutasoma menyentuh perut Bhaþþara
Kàla,
sepertinya Bhaþþara
Kàla
merasakan kecipratan tìrtha
amåta
yang sangat menyejukkan. Tìrtha
ini membuat Bhaþþara
Kàla
timbul niat beliau melakukan Catur
Pàramita,
sehingga beliau tidak bisa melanjutkan menelan Sutasoma.
Kejadian
ini membuat sang Sutasoma bertanya kenapa Bhaþþara
Kàla
tidak melanjutkan menelan dirinya. Bhaþþara
Kàla
tidak menjawab, justru balik bertanya kenapa kamu rela saya makan?
“Ratu
Bhaþþara Kàla,
benar saya rela menyerahkan diri karena saya tidak pernah gentar pada
kematian, saya tidak pernah takut pada ràkûasa apalagi manusia.
Yang
paling saya kawatirkan perbuatan-perbuatan jahat yang tentu
membawa ke alam neraka. Perbuatan yang mengakibatkan neraka, adalah
perbuatan-perbuatan seperti Bhaþþara
Kàla
lakukan, selalu mengadakan peperangan, selalu melakukan hiýsa
karma.
Permintaan saya agar ratu menghentikan perbuatan-perbuatan jahat
itu”. Mendengar ucapan Sutasoma, Bhaþþara
Kàla
betul-betul menghormat dan memohon agar dirinya bisa diangkat
menjadi murid.
Setelah
sang Sutasoma memberi nasihat pada semua muridnya, kemudian beliau
berkehendak pulang ke Astina. Sang Sutasoma tidak lupa memohon kepada
Bhaþþara
Indra agar mau menghidupkan orang-orang yang ikut perang melawan sang
Puruûàdha. Dan Bhaþþara
Indrapun melakukannya. Semua perajurit raja serta tumbuh-tumbuhan
menjadi kembali segar bugar seperti sedia kala.
Demikian
cerita sang Sutasoma yang memperoleh moksa di dunia dan akhirat.
Semoga
dari cerita ini, kita mendapatkan hikmah dan membangkitkan
nilai-nilai budhi pekerti kita sebagai manusia.
Kajian
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita Sutasoma yakni:
- Estetika (Keindahan) jika nilai ini di kaji dalam kehidupan sehari-hari dan di implementasikan kedalam pendidikan sangat perlu. Dalam hal ini terkait dengan seni, seni yang merupakan suatu imajinasi seseorang yang dituangkan dalam sebuah bentuk yang berupa lukisan dan mengandung nilai keindahan. Keindahan disini di harapakan bisa mewarnai kehidupan manusia, seindah yang diharapkan agar kehidupan manusia yang menjalani lakon kehidupan ini kelak bisa seindah ciptaan tuhan, dimana selalu damai, dan tentram dengan keindahan yag ada.
- Kewibawaan (Wibawa), seorang pemimpin harus memiliki kewibaawaan di dalam kepemimpinannya, dalam hal ini pemimpin harus bisa menjaga image dalam pemeintahannya dimana agar rakyat atau bawahan bisa mentati semua dari segala perintah sang atasan atau pemimpin itu sendiri.
- Nilai Religius, Nilai yang tampak dalam cerita ini salah satunya adalah nilai religiuis (pemujaan), jika di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari manusia yang lahr dan hidup di dunia ini wajib untuk melakukan pemujaan sesuai dengan keyakinannya msing-masing, kita sebagai umat yang beragama hindu wajib untuk melakukan pemujaaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam melaksanakan upacara yadnya didalam kehidupan yang saat ini, guna untuk kesejahteraan bersama dalam menjalani kehidupan.
- Kebijaksanaan, dalam hal ini seorang pemimpin harus memiliki kebijaksanaan dalam pemerintahannya, kebijaksanaan dalam ini dapat di implementasikan ketika tatanan dalam hal kepemimpinan dihadapkan suatu masalah, dimana seorang pemimpin dapat menimbang segala sesuatu yang bermanfaat, guna untuk dapat menarik suatu kesimpulan dan di dalam hal ini rasa keegoisan dikesampingkan dulu guna kepentingan rakyat bersama dalam menuju kesejahteraan.
- Pengendalian diri, dalam suatu tatanan kepemimpinan, seorang pemimpin manpu untuk mengendalikan diri untuk menahan emosi atau amarah bila terjadi suatu masalah dalam hal ini seorang pemimpin mampu megekang hawa nafsunya.
- Kasih Sayang,setiap manusia yang hidup di dunia ini membutuhkan yang namanya kasih sayang, kasih sayang meliputi cinta, ketulusan, dan kasih yang mendalam baik terhadap sesama Tuhan, manusia, dan binatang, dalam kehidupan sehari-hari kasih sayang dapat kita contohkan yakni kasih sayang seorang ibu dan anak, begitupun dengan sebaliknya, kasih sayang dari seorang anak kepada ibunya, kasih sayang seorang pemimpin dengan rakyatnya, semua meliputi atas dasar kasih sayang, dari kasih sayang ini akan menimbulkan keharmonisan tetrhadap sesama.
- Pengorbanan, dalam hal ini pengorbanan dari seorang pemimpin itu perlu, dan jika di implementasikan kedalam kehidupan sehari-hari juga perlu di jalani karena pengorbanan jika itu bisa dan bermanfaat positif untuk semua kalangan dimanapun kita berada, bekorban merupakan hal yang tidak sulit jika memang pengorbanan itu kita lakukan dari dalam hati dan berlandaskan atas keiklasan kita untuk berkorban demi orang lain untuk kebaikan, terkadang juga kita harus bisa mengorbankan hal yang kita sayangi untuk orang lain itulah sebenarnya pegorbanan yang mulia.
- Tolong menolong, kehidupan di dunia ini kita tidak bisa hidup sendiri, kita yang berada di lingkungan masyarakat hal terkecil yang bisa dilakukan adalah berinteraksi terhadap sesama umat masyarakat lain, karena kita ketahui bahwa dalam perjalanan hidup ini sikap toleransi, tolong menolong antar sesama harus terjalin dengan baik. Menolong seseorang yang membutuhkan bantuan layak kita bantu semampu kita, dilandasi dengan keiklasan.
Daftar
Pustaka
ITIHASA
CERITA SUTASOMA
Dosen
Pengampu: I.Gede Arsana. S.Pd.H
OLEH
LUH AYU LESTARI
10.1.1.1.1.3855
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar